Jember, 2 November 2025 — Fenomena meningkatnya penetapan tersangka terhadap debitur oleh pihak leasing dengan tuduhan penggelapan objek jaminan fidusia (Pasal 36 UU Fidusia dan/atau Pasal 372 KUHP) kini menjadi sorotan tajam di kalangan masyarakat dan praktisi hukum. Banyak pihak menilai langkah tersebut menimbulkan persoalan serius dalam penerapan hukum pidana di bidang pembiayaan konsumen.
Menurut Victor Darmawan, pengurus Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia (LPK-RI), langkah aparat penegak hukum dalam menetapkan debitur sebagai tersangka kerap kali tidak memenuhi syarat objektif. Ia menegaskan bahwa penetapan tersangka harus didasarkan pada dua alat bukti yang sah dan cukup, bukan hanya laporan dari pihak leasing semata.
Victor mengutip putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menegaskan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penahanan, dan penggeledahan dapat diuji melalui mekanisme praperadilan. Dengan demikian, menurutnya, setiap tindakan hukum yang dilakukan tanpa dasar bukti kuat dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi dan prosedural.
Lebih lanjut, Victor menjelaskan bahwa agar Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dapat diterapkan, harus ada perjanjian fidusia yang sah dan terdaftar. Jika akta fidusia dibuat tanpa kehadiran langsung debitur dan hanya mengandalkan surat kuasa bermuatan klausula baku, maka perjanjian tersebut cacat hukum dan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan.
Dalam kajian hukumnya, LPK-RI menilai bahwa hubungan antara debitur dan kreditur adalah hubungan perdata, bukan pidana. Hubungan tersebut didasarkan pada perjanjian pembiayaan konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata. Pengalihan atau penguasaan kendaraan yang masih dalam masa kredit, menurutnya, adalah bentuk wanprestasi, bukan tindak pidana penggelapan.
Victor juga menyinggung Surat Edaran Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Nomor: B/2110/VIII/2009, yang menegaskan bahwa laporan perusahaan pembiayaan terhadap debitur yang mengalihkan unit tidak boleh diproses menggunakan pasal penggelapan atau tindak pidana lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa seharusnya ditempuh melalui jalur perdata atau mediasi konsumen, bukan pidana.
Ia menilai, penerapan pasal penggelapan terhadap debitur justru menimbulkan keresahan dan ketidakpastian hukum di masyarakat. “Jangan sampai hukum pidana dijadikan alat tekanan terhadap konsumen yang pada dasarnya beritikad baik,” tegasnya.
Victor juga mengungkapkan adanya indikasi cacat formil dalam pembuatan akta jaminan fidusia, di mana akta dibuat tanpa kehadiran langsung debitur dan hanya berdasarkan surat kuasa yang telah disiapkan perusahaan pembiayaan. Praktik ini, kata Victor, bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) karena mengandung klausula baku yang merugikan konsumen.
Tak hanya itu, LPK-RI menemukan adanya perbedaan data uang muka (down payment) antara kontrak pembiayaan dan nilai pembayaran sebenarnya yang dilakukan oleh debitur. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa tidak semua kesalahan terletak pada pihak konsumen.
“Debitur pada dasarnya adalah konsumen yang beritikad baik. Mereka tidak layak diperlakukan sebagai pelaku kejahatan, apalagi jika dasar hukum perjanjiannya cacat,” ujar Victor.
Ia pun mengingatkan seluruh lembaga keuangan dan perusahaan pembiayaan agar senantiasa menghormati hak-hak konsumen serta menjalankan prinsip keadilan dalam setiap proses pembiayaan. Penegakan hukum yang adil, katanya, tidak boleh mengorbankan kepentingan masyarakat kecil demi kepentingan korporasi.
Sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat, Victor mengimbau agar konsumen lebih berhati-hati dalam mengajukan kredit. “Pastikan pihak pembiayaan melakukan verifikasi dengan benar dan menghadirkan debitur saat pembuatan akta fidusia,” pesannya.
Di akhir keterangannya, LPK-RI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal perlindungan hukum bagi konsumen, khususnya dalam sektor pembiayaan kendaraan bermotor. Victor berharap aparat penegak hukum dapat lebih selektif dalam menangani laporan terkait pengalihan objek fidusia agar tidak menimbulkan kriminalisasi terhadap masyarakat sipil.
( Redaksi)
